Pages

Subscribe:

Labels

Jumat, 03 September 2010

SITU GINTUNG YANG KERING

Masih ingatkah pikiran kita dengan bencana nasional Situ Gintung? Ya jawaban yang akan kita keluarkan karena banyak sekali yang menjadi korban jiwa. Sungguh sangat memilukan hati dan membuat hati bergetar ketika di pagi hari Jum’at tepatnya tanggal 27 Maret 2009, ketika itu pukul tujuh pagi, aku mendapat kabar dari teman yang warga asli ciputat bahwa Situ Gintung airnya “kering” Subhanallah, sebenarnya aku tidak percaya tapi ketika sudah tiba di kampus, teman-teman kelaspun begitu ramai untuk bercerita tentang Situ Gintung yang airnya “kering”. Siang itu pun aku langsung berangkat ke Situ Gintung untuk mendapatkan berita yang up to date bersama teman-teman kelas kampus (hanya berempat) dan kebetulan ketika itu aku mendapat tugas membuat video tentang Ruang Ciputat, maka aku berpikir sekalian saja aku rekam tentang Tragedi Situ Gintung.

Situ Gintung yang terletak di kawasan Kelurahan Cireundeu, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan dibangun sejak zaman kolonial Belanda 1932-1933 dengan luas awalnya 31 Ha kemudian menyempit menjadi 21 Ha. Kapasitas penyimpanan airnya bisa mencapai 2,1 juta meter kubik. Situ Gintung ini memiliki fungsi sebagai daerah resapan air dan sekitar tahun 1970 tempat ini menjadi tempat wisata alam dan perairan karena memiliki view yang menarik untuk dinikmati, selain itu juga adanya café-café, restoran dan tempat outbond yang ada disekitar Situ Gintung menjadi daya tarik tersendiri. Sejak dijadikan tempat wisata alam, luas Situ Gintung pun menyempit kembali menjadi 11 Ha, karena tanah-tanah sekitar yang seharusnya menjadi tanah pengairan dijual oleh orang pribumi asli setempat.

Kalau diperhatikan lebih dalam, bentuk Situ Gintung ada yang bilang seperti ketapel, tapi menurut penuturan dari pak Mamat seorang warga setempat, “Situ Gintung ini seperti tubuh manusia tapi tanpa kepala, Karena punya 3 pintu air, nah yang jebol itu kan yang tengah (pintu air kedua) itu ibaratnya lehernya tapi gak ada kepalanya, kalau yang sebelah kanan dan kiri itu ibaratnya adalah bagian tangan”. Menarik juga pikirku,”hehehe”.

Sebenarnya sangat mengherankan tanggul Situ Gintung dapat jebol, aku pun dibuatnya penasaran untuk mengetahui lebih detail tentang hal itu. Dari berbagai sumber yang aku dapatkan dan dapat dipercaya, bahwa sebenarnya kerusakan yang ada pada tanggul Situ Gintung itu sudah dilaporkan sejak 2 tahun belakangan sebelum terjadinya bencana Situ Gintung oleh warga sekitar yang tinggal tepat di belakang Situ Gintung, anehnya respon pemerintah kurang menanggapi hal tersebut sehingga peringatan dini (early warning) pun tidak ada dan ini sungguh membahayakan.

Dan yang lebih mengherankan lagi adalah kenapa banyak warga yang tinggal tepat di belakang tanggul Situ Gintung? Dan ini pun menjadi pertanyaan besar untuk aku, karena menurut pengetahuan dan informasi yang aku dapatkan seharusnya tanah-tanah yang ada dibelakang tanggul itu digunakan untuk persawahan atau penambakan ikan tetapi kenapa dijadikan sebagai tempat tinggal bagi masyarakat? Setelah aku cari tahu lebih dalam dari hasil perbincangan dengan H. Mudori biasa dikenal dengan sebutan H. Tahu Karena dia adalah yang memiliki pabrik tahu dibelakang tanggul. Sebelum memulai perbincangan dengan beliau, sebenarnya beliau tidak ingin mengulang kembali cerita itu selain sudah merasa bosan dan “stress” karena beliau merasa tidak ada bantuan yang riil untuknya beliau hanya diminta cerita oleh berbagai kalangan media mainstream tapi faktanya hanya kosong belaka, ketika aku mulai berincang pun ada perasaan tidak enak jika meminta untuk mengulang kembali ingatannya. Tapi dengan usaha berbagai macam lobi akhirnya luluh juga.hehehe. dari perbincangan tersebut aku dapat menyimpulkan ternyata mereka yang tinggal tepat dibelakang tanggul itu adalah mereka yang mengontrak dan menyewa tanah kepada pihak swasta yang memiliki area pertanahan dibelakang tanggul, yaitu PT. Sigma Karya. Sama halnya dengan yang lain, H. Mudori yang notabene adalah juragan tahu di Kampung Gunung (kp. belakang tanggul yang jebol) setiap tahun dia harus membayar sewa sebesar 4 juta rupiah kepada sang pemilik tanah. Dan kini pun ia harus mengalami kerugian yang sangat besar karena harus mengulang kembali usaha yang dilakukannya sejak tahun 1983, yang dulunya memiliki karyawan sebanyak 64 orang, dan kini hanya tinggal 24 orang. Sejak kejadian jebolnya tanggul Situ Gintung, H. Mudori kembali memulai usahanya dari awal dengan modal yang tidak sedikit tentunya.

Tragedi Situ Gintung yang menelan korban tewas kurang lebih sekitar 100 orang tentunya sungguh memberikan luka yang mendalam bagi para keluarga yang ditinggalkan. Dan pada akhirnya kini Situ Gintung itu pun telah berubah menjadi lahan kosong yang hanya ditumbuhi oleh rerumputan dan sedikit aliran air dari mata air yang berada di sekitar situ.

Rizky Muhammad Zein